Subscribe for Newsletter

Edit Template

Desa Jajar, Gandusari, Trenggalek tergolong masih erat dalam memegang teguh kebudayaan dan tradisi lokal, yang itu merupakan bentuk melestarikan atau nguri-nguri warisan adiluhung dari para leluhur mereka. Desa berhulu budaya merupakan sebutan yang tepat bagi Desa Jajar, tidak lain adalah desa sadar budaya. Dengan hal ini, masyarakat harus sadar jika desa yang mereka tempati mempunyai kekayaan akan budaya dan tradisi yang perlu dilestarikan agar dapat diteruskan sampai anak cucu mereka. “Asor luhuring bangsa iku gumantung marang budayane dewe”, seperti falsafah jawa tersebut yang berarti, baiknya sebuah bangsa itu tergantung terhadap budayanya sendiri. Indonesia memiliki ragam suku, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bukanlah jurang pemisah bagi keragaman, melainkan sebuah warisan adihulung yang menjadi khazanah dalam bingkai persatuan Indonesia.

Salah satu budaya yang masih lestari di Desa Jajar adalah Tradisi Tiban, tradisi memanggil hujan dengan cara menggelar pertandingan cambuk. Cambuk yang digunakan terbuat dari beberapa lidi daun aren yang dirangkai menjadi satu atau yang biasa disebut ujung. Tiban biasanya dilaksanakan saat musim kemarau atau ketigo. Folklore yang diyakini masyarakat adalah semakin banyak cambukannya, maka hujan akan semakin deras. Namun, sekarang ini Tiban lebih dipandang sebagai hiburan rakyat dan tidak selalu dilaksanakan saat musim kemarau. Hal menarik yang menjadi perbedaan pagelaran Tiban di Desa Jajar dengan Tiban yang ada di daerah lain adalah alunan pukulan musik gendang. Setiap kali Desa Jajar menyelenggarakan pagelaran Tiban, peserta dari luar desa saling beramai-ramai datang untuk memeriahkan pagelaran Tiban.

Selain daripada pagelaran Tiban, Desa Jajar juga mempunyai seni tari Tiban. Tari Tiban ini ditampilkan sebelum pagelaran Tiban yang sesungguhnya akan dimulai. Tari Tiban diperagakan oleh pemuda-pemudi Desa Jajar berjumlah 4-6 orang, dalam tarian Tiban hanyalah sebatas gerakan-gerakan seperti orang bermain Tiban, yang membawa ujung atau lidi aren tetapi tidak sampai dikenakan ke arah tubuh. Jika pagelaran Tiban mengharuskan untuk tidak memakai baju, akan tetapi dalam tarian Tiban ini tetap memakai kostum seperti tarian pada umumnya. Melihat bahwasannya pagelaran Tiban hanya dimainkan oleh seorang laki-laki dan kebanyakan sudah berusia dewasa. Jadi, inovasi adanya tarian Tiban ini merupakan bentuk implementasi latihan dan pengenalan kepada generasi penerus serta sebagai pemantik minat pemuda Desa Jajar agar terus melestarikan pagelaran Tiban.

Kemudian ada Megengan Show dan Festival Ambengan Rakyat yang dilaksanakan setiap menjelang bulan suci Ramadhan. Meskipun Megengan secara tradisional masih dilaksanakan pada setiap musholla dan masjid di Desa Jajar, tetapi ada inovasi baru di luar Megengan tradisional, yaitu Megengan Show. Megengan Show sebagaimana Megengan pada umumnya, merupakan sebuah peringatan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tidak lain adalah sebagai bentuk kegembiraan dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’i yang berbunyi, “Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”.

Namun yang membedakan dari Megengan Show adalah serangkaian bentuk kegiatan yang dilakukan. Jika Megengan biasa dilakukan di rumah-rumah atau tempat ibadah dalam bentuk kenduren, Megengan Show dilakukan ditempat terbuka dengan menampilkan pagelaran seni dan budaya. Seperti halnya pagelaran wayang kulit, campursari, puisi teatrikal, tari sufi, tari kontemporer, selawat hadrah, dan selawat modern serta dialog kebudayaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Megengan Show merupakan akulturasi antara nilai-nilai Islam dan Jawa. Megengan Show ini pernah memperoleh penghargaan juara II atas kategori budaya inovasi Kabupaten Trenggalek pada tahun 2019. Pada saat Megengan Show dilaksanakan, banyak sekali pengunjung dari luar desa berdatangan dengan bertujuan untuk menyaksikan dan berjualan disekitaran lokasi acara.

Tidak lupa Festival Ambengan Rakyat menjadi serangkaian acara yang menarik dalam Megengan Show. Ambengan disini merupakan nasi yang ditempatkan dalam tampah, baskom, atau nampan yang sudah disertai lauk pauk yang lengkap. Dalam acara Festival Ambengan Rakyat seluruh masyarakat membawa nasi putih ataupun nasi kuning yang diberi cenggereng atau parutan kelapa serta terdapat lauk seperti irisan telur, tempe, dan kacang. Namun uniknya, yang menjadi wadah nasi terbuat dari debog atau batang pisang yang dibentuk menjadi kotak, serta alas dari wadah nasi ambeng menggunakan daun pisang. Nasi ambeng sendiri sudah menjadi tradisi hidangan saat selamatan. Selamatan atau kenduren merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang masih melekat hingga sekarang ini.

Selain daripada nasi ambeng, arak-arakan nasi tumpeng raksasa yang digotong bersama-sama menjadi permbukaan saat acara Festival Ambengan Rakyat. Prosesi arak-arakan dimulai dari jalan raya sampai di depan panggung acara, serta belakangnya diikuti oleh masyarakat yang berbondong-bondong membawa nasi ambeng. Alunan musik dari selawat hadrah menyertai saat prosesi arak-arakan ini. Setelah prosesi arak-arakan selesai, seluruh masyarakat duduk bersama di sekitar panggung acara. Tahlil dan doa bersama dimulai sebagai awal pembukaan acara Megengan Show, nasi ambeng sudah bisa dipurak atau dimakan bersama-sama. Tidak lupa prosesi pemotongan nasi tumpeng di atas panggung sebagai simbolis acara. Nasi tumpeng tersebut berisikan lauk pauk yang sudah lengkap dan sayuran dari hasil bumi.

Selanjutnya ada Tradisi Jamasan atau mandi jamas. Jamasan merupakan ritual mandi sebelum memasuki bulan suci Ramadhan yang ada di Desa Jajar. Tradisi Jamasan mirip dengan tradisi padusan di beberapa daerah. Tujuannya adalah untuk membersihkan jasmani dan rohani dalam memasuki bulan suci Ramadhan. Karena pada dasarnya, manusia tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka dari itu, diperlukan sebuah laku menjamas diri. Sebagaimana pusaka, jika manusia tidak jamas, akan hilang sisi keramatnya. Salah satu lokasi untuk prosesi Jamasan ini berada di Jeding Wonotirto, tempat pemandian yang dianggap sudah tua. Saat prosesi keramas bukan menggunakan shampo yang seperti pada umumnya, akan tetapi menggunakan merang ketan ireng atau abu ketan hitam . Folklore yang diyakini dari merang ketan ireng ini diartikan sebagai unsur yang menjadi ejewantah penolak bala dari keyakinan para leluhur.

Kemudian di Desa Jajar juga terdapat selawat ikonik pada saat bulan Ramadhan, yaitu salalahuk. Salalahuk biasanya dikumandangkan setelah salat terawih dengan diiringi pukulan bedug. Salalahuk secara bahasa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, “shallallahu” yang kemudian dilafalkan oleh orang Jawa menjadi salalahuk. Isi dari selawat ini juga tentang ajaran agama berbalut lagu berbahas Arab dan Jawa. Salalahuk juga terselipkan pujian kepada Nabi Muhammad SAW serta doa-doa keselamatan. Tidak ada yang tahu persis sejak kapan salalahuk itu diajarkan. Penulis pernah bertanya kepada para pelantun salalahuk yang sudah berusia sepuh, jawabnya adalah salalahuk sudah ada sejak mereka masih kecil. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa selawat ini merupakan ajaran dari Walisanga. Tentunya, salalahuk merupakan peninggalan berharga dari para pendahulu yang dengan kreatifitasnya mampu merangkai nilai-nilai Islam dalam kemasan lokal, tanpa mengurangi esensi dari nilai yang diajarkan.

Kedatangan Walisanga di tanah Jawa telah memengaruhi sejarah kebudayaan Islam yang nampaknya masih bisa dirasakan hingga masa kini. Walisanga merupakan sebutan bagi para ulama yang menyebarkan agama Islam secara khusus di pulau Jawa. Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam melalui budaya Jawa, sehingga ajaran Sunan Kalijaga lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat karena selaras dengan budaya Jawa. Sudah seharusnya sebagai orang Jawa jangan sampai menganggap budaya Jawa menjadi sesuatu yang kuno, justru budaya Jawa merupakan identitas yang harus dijaga dan selayaknya dibanggakan. Budaya merupakan aset yang berharga bagi Bangsa Indonesia, sudah selayaknya sebagai generasi muda untuk melestarikannya. Bangsa Indonesia yang kaya akan budaya ini, namun tidak menggoyahkan rasa persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.

Explore Topics

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ethical Dimensions in the Digital Age

The Internet is becoming the town square for the global village of tomorrow.

Most Popular

Explore By Tags

    About Us

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, and pulvinar daHad denoting properly jointure you and occasion directly raillery. In said to of poor full.

    You May Have Missed

    No Posts Found!

    Tags

      © 2024 Created with Royal Elementor Addons